Kamis, 08 Januari 2015

Nepotisme

Nama : Bagus Satrio Utomo
Kelas : 1KA38
NPM : 12114004
Tugas : Softskill Ilmu Sosial Dasar
Pengertian dan Sejarah NepotismeNepotisme berarti lebih memilih saudara atau teman akrab berdasarkan hubungannya bukan berdasarkan kemampuannya. Kata ini biasanya digunakan dalam konteks derogatori.

  1. Pemborosan sumber-sumber, modal yang lari, gangguan terhadap penanaman modal, terbuangnya keahlian, bantuan yang lenyap.
  1. ketidakstabilan, revolusi sosial, pengambilan alih kekuasaan oleh militer, menimbulkan ketimpangan sosial budaya.
  1. pengurangan kemampuan aparatur pemerintah, pengurangan kapasitas administrasi, hilangnya kewibawaan administrasi.
Nepotisme, Kroniisme, Dinasti

Kata nepotisme berasal dari kata Latin nepos, yang berarti "keponakan" atau "cucu". Pada Abad Pertengahan beberapa paus Katolik dan uskup- yang telah mengambil janji "chastity" , sehingga biasanya tidak mempunyai anak kandung - memberikan kedudukan khusus kepada keponakannya seolah-olah seperti kepada anaknya sendiri. Beberapa paus diketahui mengangkat keponakan dan saudara lainnya menjadi kardinal. Seringkali, penunjukan tersebut digunakan untuk melanjutkan "dinasti" kepausan. Contohnya, Paus Kallistus III, dari keluarga Borja, mengangkat dua keponakannya menjadi kardinal; salah satunya, Rodrigo, kemudian menggunakan posisinya kardinalnya sebagai batu loncatan ke posisi paus, menjadi Paus Aleksander VI[2]. Kebetulan, Alexander mengangkat Alessandro Farnese, adik kekasih gelapnya, menjadi kardinal; Farnese kemudian menjadi Paus Paulus III[3]. Paul juga melakukan nepotisme, dengan menunjuk dua keponakannya (umur 14 tahun dan 16 tahun) sebagai Kardinal. Praktek seperti ini akhirnya diakhiri oleh Paus Innosensius XII yang mengeluarkan bulla kepausan Romanum decet pontificem pada tahun 1692[1]. Bulla kepausan ini melarang semua paus di seluruh masa untuk mewariskan tanah milik, kantor, atau pendapatan kepada saudara, dengan pengecualian bahwa seseorang saudara yang paling bermutu dapat dijadikan seorang Kardinal.

Nepotisme dalam KKN
Di Indonesia, tuduhan adanya nepotisme bersama dengan korupsi dan kolusi (ketiganya disingkat menjadi KKN) dalam pemerintahan Orde Baru, dijadikan sebagai salah satu pemicu gerakan reformasi yang mengakhiri kekuasaan presiden Soeharto pada tahun 1998.
Akibat – akibat Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) ini adalah :
Dalam tinjauan moral dan hukum, korupsi dan segala variannya adalah praktik yang harus ditolak dalam politik yang sehat dan demokratis. Namun, secara sosiologis meluasnya korupsi membawa suatu akibat yang menguntungkan bagi tegaknya public good governance karena bersama dengan terungkapnya kasus korupsi-korupsi besar, tersingkap juga berbagai konspirasi politik dalam bentuk nepotisme yang pada giliran berikutnya melahirkan kroniisme.
Ada persamaan dan perbedaan di antara nepotisme dan kroniisme sebagai praktik dalam birokrasi. Dua praktik itu mempunyai kesamaan bahwa penempatan seseorang dalam birokrasi tidak didasarkan pada kompetensi teknis, tetapi pada faktor-faktor nonteknis. Bedanya, dalam nepotisme, posisi dalam birokrasi ditentukan oleh hubungan kekeluargaan dan kekerabatan, sedangkan dalam kroniisme posisi itu ditentukan oleh hubungan perkoncoan. Dinasti politik merupakan gejala nepotisme, yang dalam perkembangannya akan menciptakan kroniisme.
Dalam organisasi yang baik, nepotisme dianggap sebagai praktik yang menyimpang. Namun, mengapa menyimpang? Ada pertanyaan kritis menyangkut soal ini yang patut mendapat perhatian. Apa dasarnya bahwa kalau saya menjadi gubernur, saudara-saudara saya tidak boleh bekerja dalam kantor gubernur, sekalipun mereka terbukti sanggup? Kalau mereka sudah melewati semua tes seleksi dengan benar dan lulus tes tersebut, mengapa mereka tak boleh mendapat pekerjaan dan posisi yang mereka kehendaki? Melarang mereka bekerja dalam kantor gubernur hanya karena mereka adalah sanak dan kerabat gubernur, bukankah itu suatu diskriminasi? Selayaknya mereka diterima bekerja sampai terbukti bahwa hubungan kekeluargaannya dengan gubernur membuat mereka melakukan penyimpangan dalam tugas, atau tidak bekerja efektif sebagaimana dituntut oleh tugasnya.
Kiranya jelas bahwa argumen seperti itu didasarkan pada asas nondiskriminasi dan asas praduga tak bersalah. Kita tahu juga bahwa praduga tak bersalah adalah asas yang berlaku dalam pengadilan. Namun, birokrasi pemerintahan dan manajemen organisasi bukanlah pengadilan. Di sini yang perlu dilakukan adalah mencegah kemungkinan dan memperkecil kesempatan untuk melakukan penyimpangan. Dengan demikian, yang harus berlaku dalam organisasi dan manajemen bukanlah asas presumption of innocence atau praduga tak bersalah, tetapi asas presumption of fallibility atau praduga tentang kemungkinan jatuhnya seseorang dalam kelemahan dan kesalahan karena ketiadaan kontrol. Seorang bos di kantor sebaiknya memercayai semua stafnya. Namun tak berarti lemari besi yang berisi uang kantor boleh dibiarkan tidak terkunci karena sangat besar kemungkinan uang itu menimbulkan godaan untuk diambil.
Rupanya ini juga pertimbangannya mengapa suami-istri tidak diperbolehkan bekerja dalam kantor bank yang sama karena diandaikan bahwa hubungan yang amat dekat antara suami dan istri akan mempersulit terjaganya kerahasiaan bank, yang dapat merugikan kepentingan nasabah serta merugikan reputasi dan kredibilitas bank tersebut. Kalau salah satu dari pasangan suami-istri itu ditolak oleh bank untuk bekerja di bank itu, walaupun yang bersangkutan sudah lulus tes seleksi dengan baik, kebijakan ini bukanlah suatu tindakan diskriminatif, tetapi tindakan preventif untuk mencegah pelanggaran kerahasiaan bank, yang besar kemungkinan akan terjadi, kalau ada hubungan personal yang terlalu dekat di antara karyawan seperti antara suami dan istri. Dalam hal ini, kalau harus ditunggu dulu sampai ada bukti terjadinya pelanggaran kerahasiaan bank, maka situasinya sudah terlambat, dan baik bank maupun nasabah sudah telanjur dirugikan.
Selain itu, cukup terbukti dalam beberapa kasus di Indonesia bahwa hubungan yang terikat oleh faktor kekeluargaan cenderung menjadi tertutup dan eksklusif, terutama apabila para kerabat itu sudah terlibat dalam penyelewengan dan pelanggaran hukum. Ketertutupan itu mempersulit transparansi dan akuntabilitas. Juga menjadi penghambat bagi monitoring dan pengawasan. Akibatnya, penyelewengan dan pelanggaran hukum yang terjadi akan terus menumpuk dari waktu ke waktu, dan merugikan kepentingan publik secara akumulatif.

Memperlemah birokrasi
Contoh ini memperlihatkan bahwa asas presumption of innocence tidak selalu tepat diterapkan di luar pengadilan, seperti juga asas presumption of fallibility tidak akan dibenarkan diterapkan di pengadilan. Di sini kita bisa berkata bahwa kebijaksanaan tercapai kalau kita berpegang pada asas right principle in the right place atau asas yang benar harus diterapkan di tempat yang benar. Inilah pertimbangan utama bahwa nepotisme dianggap praktik yang merugikan birokrasi dan manajemen karena hadirnya terlalu banyak kaum kerabat dalam birokrasi akan memperlemah sifat birokrasi yang seharusnya impersonal. Kita tahu pemerintahan dan birokrasi pemerintahan adalah lembaga publik, yang harus bertanggung jawab atas kepentingan umum melalui kebijakan-kebijakan publik. Karena itu, sifat publik dari jabatan-jabatan pemerintahan perlu dijaga agar tidak dipersulit oleh hubungan-hubungan yang terlalu personal, yang menjadi ciri pemerintahan patrimonial zaman baheula.
Kroniisme juga kadang kala dibela dengan jalan pikiran yang sama. Argumennya, kalau kita memulai suatu usaha, lebih baik memulainya bersama orang-orang yang sudah kita kenal, atau dengan teman-teman yang sudah saling tahu, daripada langsung mengajak orang-orang yang baru saja dijumpai dalam wawancara untuk perekrutan staf. Orang-orang yang sudah dikenal dan teman-teman dekat lebih mudah diramalkan perilakunya, dapat diperkirakan reaksinya dalam menerima usul atau suatu rencana kerja.
Hal-hal ini lebih sulit kalau kita langsung bekerja dengan orang-orang baru karena belum ada pegangan tentang bagaimana mengantisipasi sikap mereka terhadap teguran, peringatan, atau disiplin kantor yang hendak diterapkan. Di sini kita berhadapan dengan tingkat ketidakpastian yang terlalu tinggi, yang akan menyulitkan proses pengambilan keputusan dan menghambat juga implementasi keputusan yang sudah diambil.
Sebaiknya diperjelas di sini bahwa sekelompok orang dengan semangat yang sama dan visi yang sama memang lebih mudah menjalankan suatu usaha bersama, seperti mendirikan koran atau majalah, membangun sekolah, perguruan tinggi, mengelola sebuah klub sepak bola yang profesional, atau membangun sebuah perusahaan bisnis. Dalam situasi semacam itu, orang-orang yang saling mengenal ini tidak dapat dinamakan kroni, tetapi rekan kerja yang kompak yang dipersatukan oleh suatu komitmen yang sama. Perbedaan di antara teamwork dengan kroniisme ialah bahwa yang pertama bekerja untuk kepentingan usaha bersama dengan SOP yang jelas, sedangkan yang kedua bekerja untuk kepentingan dan keuntungan sekelompok orang dalam usaha bersama itu, berdasarkan favoritisme pemimpin kelompok. Kroniisme baru terjadi kalau segelintir orang dari mereka yang telah memulai usaha bersama mendapat dan menikmati keuntungan khusus yang tidak dibagikan kepada rekan-rekan lainnya. Dengan demikian, kroniisme selalu berdiri di atas suatu in-group yang menutup diri dari mereka yang tidak termasuk dalam kelompoknya, dan tidak memperjuangkan kepentingan bersama, tetapi membela suatu egoisme kelompok secara eksklusif.
Dalam politik, kroniisme seperti ini tidak saja menguasai sumber daya ekonomi, tetapi juga sumber daya politik yang berhubungan dengan akses kepada sumber daya ekonomi, dan cenderung berkembang menjadi suatu oligarki dalam pemerintahan. Memang, setiap oligarki selalu dapat berdalih bahwa meskipun kekuasaan ekonomi dan politik hanya ada pada beberapa orang, mereka tetap saja bekerja untuk kepentingan rakyat dan memperjuangkan kemajuan umum. Dalih seperti ini, seandainya pun benar terwujud dalam kenyataan (suatu yang hampir tak mungkin terjadi), secara prinsipiil tidak dapat diterima asas demokrasi. Karena rakyat tidak cukup hanya dijadikan obyek kebaikan dan kemurahan hati melalui kerja yang dilaksanakan ”untuk rakyat”. Prinsip demokrasi menetapkan bahwa rakyat adalah subyek kekuasaan politik dalam pemerintahan, malah subyek yang terpenting, dan hal ini harus diperlihatkan dalam pemerintahan ”dari rakyat” dan ”oleh rakyat” dan bukan saja dalam pemerintahan ”untuk rakyat”.
Dalam pelaksanaan demokrasi Indonesia saat ini, dapat disaksikan bahwa asas ”dari rakyat” dan ”oleh rakyat” lebih sering disimulasikan dalam demokrasi prosedural melalui institusi-institusi politik, sementara pemerintahan ”untuk rakyat” cenderung diabaikan, khususnya melalui nepotisme dan kroniisme dalam politik.
Beberapa ahli hukum mengatakan bahwa kita sulit mengambil langkah-langkah untuk menentang praktik nepotisme saat ini karena belum ada undang-undang yang melarang praktik nepotisme. Pada hemat saya, keberatan semacam ini tidak mengimplikasikan bahwa nepotisme tidak bisa ditentang, tetapi justru menunjukkan belum lengkapnya sistem hukum kita.

Legislasi yang mempersulit
Pengalaman politik dalam masa pasca-Reformasi memberi beberapa contoh bahwa beberapa praktik yang tadinya dilakukan secara meluas, seperti pemberian hadiah besar-besaran kepada seorang atasan dalam birokrasi pada kesempatan tertentu (seperti pernikahan anaknya, atau hari raya), lebih banyak mudaratnya dari manfaatnya, karena tanpa sengaja hadiah-hadiah itu berfungsi sebagai gratifikasi yang membuat orang yang menerima tidak dapat bersikap correct dalam jabatannya. Sekarang ini hal itu sudah sulit dilakukan karena sudah ada UU yang melarang gratifikasi semacam itu. Nepotisme jelas merugikan kehidupan politik dan praktik demokrasi karena beberapa kecenderungan dalam wataknya. Sifat eksklusif nepotisme mempersulit terciptanya tata kelola yang baik (good governance) karena kelompok yang mempraktikkan nepotisme cenderung tertutup, serta tidak mudah dimonitor dan diawasi. Ketertutupan itu sendiri sudah bertentangan dengan prinsip equal opportunity atau kesempatan yang sama untuk melakukan partisipasi politik secara terbuka karena peran-peran tertentu dalam pemerintahan sudah diblokir untuk anggota in-group yang menikmati hak-hak istimewa.
Dengan tertutupnya partisipasi politik untuk sebagian warga negara yang tidak termasuk dalam blok nepotisme, baik birokrasi maupun politik Indonesia tidak akan mendapat tenaga-tenaga terbaik dalam menjalankan tugas karena mereka sudah tersingkir secara alamiah dari pola perekrutan yang berlangsung tertutup. Selain itu, nepotisme akan terus berusaha melestarikan vested interest kelompoknya dengan mengorbankan kepentingan publik dan kemajuan umum. Kekayaan yang ekstrem dari sekelompok orang dan kemiskinan ekstrem dari banyak orang merupakan hal yang tidak bisa dibenarkan dengan alasan apa pun dalam suatu negara yang beradab. Mungkin sudah saatnya perlu disusun legislasi yang akan mempersulit praktik nepotisme, kroniisme, dan dinasti politik dalam pemerintahan karena ini langkah pertama yang efektif menuju keadilan dan kesejahteraan rakyat, yang menjadi alasan satu-satunya bahwa ada, mengapa harus ada, negara merdeka yang bernama Republik Indonesia.

Contoh kasus nepotisme
Kasus nepotisme di Provinsi Banten adalah yang paling menonjol. Gubernur Banten dijabat oleh Ratu Atut Chosiyah. Haryani, ibu tiri Gubernur Banten, menjabat Wakil Bupati Pandeglang. Alrin Rachmi Diany, adik ipar Gubernur Banten, menjabat Walikota Tangerang Selatan. Ratu Tatu Chasanah, adik kandung Gubernur Banten, menjabat Wakil Bupati Serang. Tubagus Haerul Jaman, adik tiri Gubernur Banten, menjabat Walikota Serang. Ahmed Zaki Iskandar, anak mantan Bupati Tangerang, menjabat Bupati terpilih Tangerang. Maka Provinsi Banten seolah-olah sudah menjadi "milik keluarga," dan praktik politik semacam ini bisa dibilang sudah mengarah ke "politik dinasti" a'la kerajaan masa lampau. 
sumber :
http://indonesia.ucanews.com/2013/11/12/nepotisme-kroniisme-dinasti/
http://satrioarismunandar6.blogspot.com/2013/07/perilaku-korupsi-politik-dinasti-dan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar