Pernah melihat anak-anak sering berbicara sendiri? Itulah saat mereka
berimajinasi punya teman khayalan. Hal ini tampak wajar sebagai sesi
tumbuh-kembang si anak.
Yang sering jadi persoalan, ketika berkembang cerita adanya teman
khayalan yang sebenarnya sosok penuh misteri, hingga muncullah legenda
urban seperti "Candy Man" dan lain-lain yang menunjukkan bahwa "teman"
yang diajak bicara oleh si anak adalah sosok roh, atau hantu yang tidak
bisa dilihat oleh orang dewasa.
Benar atau tidak tentu masih jadi misteri. Sama seperti kisah-kisah di bawah ini.
Teman khayalan itu sangat nyata sehingga terkadang harus mendapatkan
tempat makan di meja, menggunakan sabuk pengaman di mobil dan diberikan
kesempatan untuk berbicara pada pertemuan keluarga yang sama dengannya.
“Biasanya teman khayalan ini memiliki nama yang diciptakannya sendiri.
Nama tersebut bisa diambil dari nama yang familiar. Teman khayalan
mungkin saja dialami anak-anak untuk beberapa waktu,” terang Laura.
Terkadang teman khayalan pada anak, dapat bertindak sebagai orang yang
disalahkan atau alter ego. Bisa juga anak menyalahkan temannya itu atas
mainan yang hilang atau ketika dia mengatakan kata-kata yang dilarang.
“Yang perlu diingat, terkadang teman khayalan merupakan teman bermain yang menyenangkan,” tegas Laura.
Penelitian yang dilakukan oleh Marjorie Taylor dari Fakultas Psikologi
University of Oregon dan Stephanie M. Carlson dari Fakultas Psikologi
University of Washington menyimpulkan, dua dari tiga anak usia tujuh
tahun pernah memiliki setidaknya satu teman khayalan.
Ternyata teman khayalan tidak hanya muncul pada anak usia 3-4 tahun, namun juga hingga anak-anak mencapai usia sekolah.
“Ketika kami memulai penelitian ini
sekitar 10 tahun yang lalu, kami memperkirakan hanya sekitar satu dari
tiga anak usia prasekolah yang memiliki teman khayalan,” ujar Taylor
dalam artikelnya The Characteristics and Correlates of Fantasy in
School-Age Children: Imaginary Companions, Impersonation, and Social
Understanding.
Awalnya, tujuan penelitian yang dilakukan Taylor dan Carlson yaitu untuk
mempelajari hingga beberapa tahun kemudian, bagaimana teman khayalan
tersebut mempengaruhi kehidupan sang anak.
Anak-anak mengakui bahwa beberapa teman khayalan mereka kadang-kadang
juga berlaku tidak baik dan mengganggu. Bahkan, memukul mereka atau
tidak mau pergi ketika anak-anak tersebut sedang membaca. Cepat atau
lambat, anak-anak menyadari bahwa teman-teman khayalannya tidak nyata.
Carlson menuturkan, beberapa anak yang ikut dalam penelitian sempat
mengajaknya bicara secara pribadi dan berkata “Anda tahu bahwa ini hanya
pura-pura kan?”.
Clinical Assistant Professor New York University, School of Medicine
Anita Gurian PhD menjelaskan, untuk para orangtua yang melihat anaknya
memiliki teman khayalan untuk memperhatikan lebih lanjut. Lihat
intensitas dan durasi dari hubungan anak dengan teman khayalannya.
“Orangtua harus mulai khawatir jika anak-anak menghindari interaksi
dengan anak-anak lain dan lebih memilih bermain dengan teman
khayalannya. Kemungkinan, anak sedang mengalami tekanan psikologis,”
kata Anita.
Orangtua juga harus waspada jika anak hanya terfokus pada kehadiran
teman khayalannya tersebut. Orangtua dapat meminta bantuan dari
konsultan professional untuk mengetahui apakah anak memiliki ketegangan
pada alam bawah sadar.
“Secara umum, seorang teman khayalan adalah sebuah tanda anak sedang
berhadapan dengan hal kompleks, ketika dia sedang berusaha berinteraksi
dengan lingkungan sekitarnya. Jangan merendahkan hubungan anak dengan
teman khayalan tapi jangan terlalu terlibat,” saran Anita kepada para
orangtua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar