Tampilkan postingan dengan label PD II. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PD II. Tampilkan semua postingan

Kamis, 24 April 2014

Sejarah Proklamasi Indonesia yang tidak Pernah Diungkapkan

Basyral Hamidy Harahap
Pengantar dari penulis:

Artikel ini dimuat oleh Harian KOMPAS edisi 16 Agustus 2001, halaman 28 kolom 1 s.d. 9 yang disalin kembali seperti di bawah ini dengan koreksi nama Shigetada Nishijima yang di KOMPAS tertulis Sigetada Nishijima. 

SAYA merasa beruntung mendapat peluang mewawancarai satu-satunya saksi hidup peristiwa bersejarah perumusan naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Dia adalah Shigetada Nishijima (90), yang kini hidup bersama isterinya di suatu apartemen di Tokyo. Pertemuan kami berlangsung dalam suasana kekeluargaan yang kental. Ini merupakan wawancara saya yang kedua dengan Nishijima. Pertama, pada bulan November 1990 di kediaman Nu. Adam Malik di Jalan Diponegoro 29, Jakarta Pusat. Kedua, tanggal 10 Oktober 2000 di Meguro-ku, Tokyo.

PERTEMUAN itu diatur beberapa hari sebelumnya. Kedatangan saya diterima dalam suasana kekeluargaan yang hangat oleh Shigetada Nishijima dan Hideki Nishijima, puteranya kelahiran Bandung. Ketika itu Ny. Nishijima sedang sakit.

Berbincang-bincang selama satu jam penuh dengan tokoh seperti Shigetada Nishijima, merupakan suatu kehormatan bagi saya. Nishijima telah menyediakan sjumlah bahan-bahan wawancara. Nishjima memperlihatkan beberapa dokumen penting, antara lain empat halaman surat Mr. Ahmad Subarjo bertanggal 18 Oktober 1954, sepucuk surat Adam Malik, surat asli Bung Hatta bersama amplopnya yang masih berperangko. Nishijima menyerahkan dokumen-dokumen tersebut kepada saya. Sebuah naskah memoarnya dalam bahasa Jepang menjadi rujukan dalam wawancara itu.

Nishijima adalah pribadi yang menarik. Dia seorang yang periang, ingatannya masih cerelang, suaranya lantang, fasih berbahasa Indonesia, Inggris, dan Belanda. Sebelum pendudukan Jepang, Nishijima tinggal di Jakarta, kemudian pindah ke Bandung sebagai pegawai di Toko Jepang, Chiyoda. Karena pergaulannya yang erat dengan para pemuda pejuang Indonesia menjelang pendudukan Jepang, pemerintah colonial Belanda menangkap Nishijima. Dia mendekam di kamp tahanan politik berpenghuni kira-kira 500 orang di Garut. Di antara tahanan itu ada Adam Malik, Asmara Hadi, S.K. Trimurti, dan lain-lain.


 Laksamana Tadashi Maeda

Pada masa pendudukan Jepang, Nishijima adalah tangan kanan sekaligus penerjemah bagi Laksamana Tadashi Maeda. Menjelang proklamasi kemerdekaan, Nishijima banyak membantu para pemuda, antara lain Adam Malik, Sukarni, Chairul Saleh, Elkana Lumban Tobing, B.M. Diah, Wikana, Pandu, dan lain-lain.

Wawancara dengan Nishijima saya fokuskan pada peristiwa perumusan naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 16 Agustus 1945 malam di kediaman Laksamana Tadashi Maeda di Jalan Imam Bonjol 1, Jakarta Pusat sekarang.

Laksamana Tadashi Maeda dan Shigetada Nishijima telah sepakat, bertekad bulat untuk tidak menceritakan kepada Sekutu tentang keterlibatan mereka dalam perumusan naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia itu. Alasannya antara lain untuk melindungi nama baik Republik Indonesia. Terlebih, Sekutu sudah mencium keterlibatan pihak Jepang. Sekutu menuduh bahwa Proklamasi itu adalah rekayasa pihak Jepang. Di bawah ini beberapa petikan wawancara dengan Shigetada Nishijima, sebagai berikut:

Tanya (T): Pak Nishijima, bagaimana sikap Laksamana Tadashi Maeda dan Pak Nishijima sendiri menghadapi tuduhan Sekutu tentang keterlibatan pihak Jepang dalam perumusan naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 16 Agustus 1945?

Jawab (J): Terus terang, Laksamana Muda T. Maeda dan saya berusaha sekeras-kerasnya untuk menjaga nama baik Republik Indonesia, agar jangan sampai Belanda bias mengecap RI itu sebagai bikinan Jepang. Pada akhir bulan Desember 1946, E.S. Pohan sebagai war crime's suspect, dipindahkan dari salah satu tempat ke penjara Gang Tengah. Dia dimasukkan ke double sel yang tadinya ditempati Tuan T. Maeda. Kemudian Tuan T. Maeda dipindahkan ke dalam sel saya. Memang ini adalah kesalahan dari pihak pengurus penjara. Karena Tuan T. Maeda dan saya masih belum diperiksa mengenai rapat dan kejadian di rumah Tuan T. Maeda. Kami berdua merasa amat senang. Kami berunding betul-betul sampai mana boleh terus terang dan mana harus tinggal diam saja mengenai perumusan naskah proklamasi.
Karena pada waktu itu Belanda berusaha keras untuk mengecap Republik sebagai bikinan Jepang. Karena apa? Karena tanggalnya ditulis ‘05. ’05 artinya artinya tahun Jepang, bukan ’45. Biarpun pemeriksa berturut-turut empat hari menekan saya sampai akhirnya mengeluarkan air kencing berdarah, saya tetap tidak mengaku. Umur saya waktu itu hamper 36 tahun dan masih bisa tahan.

T: Siapa saja yang duduk di meja bundar ketika merumuskan naskah Proklamasi itu? 

J: (Sambil menggambarkan suasana di ruangan itu Nishijima berkisah). Di sini duduk Tuan Maeda, Tuan Sukarno, Tuan Hatta, Mr. Subarjo, saya sendiri, Tuan Yoshizumi, dan S. Miyoshi dari Angkatan Darat. Kami membicarakan bagaimana teks proklamasi. Pemuda ada di luar, antara lain Sukarni, Chairul Saleh dan yang lainnya. Pemuda meminta agar supaya teks itu bunyinya keras, artinya hebat. Padahal saya sendiri sebagai pihak Jepang, apalagi saya tahu sedikitnya international law bahwa jika pihak Jepang mengakui dan menyetujui teks itu, kita akan dimarahi oleh Sekutu. Jadi kata-kata itu harus dirumuskan. Sehingga ada perubahan-perubahan. Perubahan itu, tentang kata penyerahan, dikasihkan, atau diserahkan. Itu tidak bisa. Perebutan juga kita tidak mau mengakuinya. Sehingga di sini diadakan pemindahan kekuasaan. Sukarno sendiri menulis diselenggarakan. Pihak Indonesia tidak mengakui bahwa itu dicampuri oleh Jepang.

T: Apakah Pak Nishijima pernah menulis tentang peristiwa perumusan naskah Proklamasi itu?

J: Saya dan sudara Koichi Kishi sudah menerbitkan buku tentang pendudukan Jepang di Indonesia dalam bahasa Jepang berjudul Indonesia niokeru Nihon Gunsei no Kenkyu yang diterbitkan pada bulan Mei 1959. Soal perumusan juga tertera di dalam buku itu. Tidak kurang dari 100 tulisan ditambah televise BBC London dan NHK Tokyo yang menyiarkan keterlibatan saya dalam perumusan naskah Proklamasi.

T: Bagaimana pendapat Pak Nishijima tentang sikap pihak Indonesia yang tidak mengakui keterlibatan Jepang dalam penyusunan naskah Proklamasi itu?

J: Saya memahami perasaan pihak Indonesia bahwa soal proklamasi itu betul-betul peristiwa bersejarah. Jadi mereka tidak mau mengakui bahwa orang Jepang campur tangan dalam hal itu.

T: Bagaimana reaksi pemimpin-pemimpin Indonesia terhadap klarifikasi Pak Nishijima bahwa sebenarnya pihak Jepang mengambil bagian dalam perumusan Proklamasi itu?

J: Sampai sekarang saya tidak menerima “bantahan secara terbuka” dari pihak Indonesia, baik dari pelaku-pelaku maupun pemuda-pemuda atau pemimpin-pemimpin yang mengintip.

T: Apakah ada saksi lain yang dapat membenarkan keterangan Pak Nishijima itu?

J: Ada, Nyonya Satsuki Mishima, alamat 1-28-16, Bukomotomachi, Amagasaki-shi, telepon 064-31-2509. Dialah yang menyediakan makan sahur bagi Bung Karno dan Bung Hatta. Saya Tanya kepadanya tentang berapa orang Jepang duduk di meja bundar bersama-sama Bung Karno, Drs. Hatta dan Mr. 
Subarjo. Dia menjawab tegas bahwa ada Laksamana T. Maeda, T. Yoshizumi, S. Nishijima, dan S. Miyoshi dari Angkatan Darat.

T: Sejauh mana Pak Nishijima mengenal Bung Karno, Bung Hatta, Adam Malik, dan Ahmad Subarjo?

J: Saya mengenal Bung Karno dan Bung Hatta di Jakarta. Ketika itu pemuda begitu berkobar. Sehingga saya menjadi pengantara. Ketika itu saya sudah kenal baik sama Bung Karno dan Bung Hatta. Saya bersama-sama pergi ke Makassar pada masa perang. Jadi ketika itu saya terpaksa menjadi pengantara pemuda, Karni, dan Chairul Saleh. Bung Karno juga baik sekali sama saya. Adam Malik melihat saya sebagai saudara. Saya juga menganggap dia sebagai saudara. Dia bekas pejuang. Jadi saya menghargai betul.Mr. Subarjo adalah sahabat baik saya. Dia menulis surat kepada saya pada tanggal 18 Oktober 1954. Subarjo antara lain menulis, “Percayalah bahwa sampai mati saya tak akan lupa teman-teman di Jepang yang dengan hati suci dan sungguh-sungguh membantu kami dalam melaksanakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Hanya orang sedikit saja yang tahu menahu akan seluk-beluknya di sekitar Proklamasi. Dan, sudah barang biasa dalam sejarah dunia bahwa di belakang kejadian-kejadian yang sangat penting masih terbenam beberapa faktor-faktor yang tak diketahui oleh umum. Seperti dalam Proclamation of Independence daripada Amerika Serikat, baru saja belakangan hari ini diketahui bahwa bukan Thomas Jefferson yang merancangkannya, tetapi seorang bernama Thomas Paine yang menulis beberapa buku ilmu filsafat, seperti The Rights of Man. Baru 150 tahun sesudah Proklamasi Kemerdekaan Amerika, orang mulai mengetahui bahwaThomas Paine itu yang merancangkan kata-kata Declaration of Independence itu.

Maka dari itu, penting sekali kalau orang-orang seperti Tuan yang tahu betul seluk-beluknya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia menulis feitennya (faktanya, penulis). Terserah kepada historicus yang akan dating untuk menulis dengan cara obyektif dan perasaan tanggung jawab terhadap kebenaran, bagaimana terjadinya Proklamasi kita iti.”

Itu yang ditulis Subarjo. Adam Malik sendiri pernah mengatakan kepada saya, 22 Desember 1976 di Hotel Takanawa Prince, Tokyo, “Saya dengar dari Sdr. Sukarni almarhum bahwa Sdr. Nishijima ikut serta merumuskan naskah proklamasi, dan saya mengerti sikap saudara yang menutup hal itu terhadap Belanda untuk menolong Republik,” kata Adam Malik.

Bung Karno juga mengakui bahwa orang-orang Jepang secara pribadi tidak sedikit yang ikut berjuang bersama-sama bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaan. Untuk menghargai jasa-jasa mereka, khususnya Ichiki Tatsuo dan Yoshizumi Tomegoro, pada tanggal 15 Februari 1958, ketika Bung Karno berada di Tokyo menyerahkan kepada saya teks sebuah prasasti untuk disimpan di biara Buddha Shei Shoji di Minatoku, Tokyo.

Terasa wawancara selama satu jam berlalu sangat cepat. Keinginan saya untuk menggali informasi lainnya terpaksa diurungkan, karena Pak Nishijima tampak kelelahan. Itulah sekelumit wawancara dengan Shigetada Nishijima. Mudah-mudahan harapan Nishijima dan Mr. Ahmad Subarjo tercapai, yaitu agar ada sejarawan yang menulis peristiwa penyusunan naskah Proklamasi sesuai fakta.

Basyral Hamidy Harahap
Sekretaris Yayasan Adam Malik

Perkumpulan Kipas Hitam di Indonesia




Setelah Jepang menyerah terhadap Sekutu pada 14 Agustus 1945, Departemen Propaganda (Sendenbu) di bawah pimpinan Hitoshi Shimizu berusaha melakukan perlawanan. Dia mendirikan perkumpulan rahasia Ular Hitam, berisi orang-orang Indo-Belanda bermarkas di Bogor; Chin Pan, menampung orang-orang Tionghoa; dan yang terpenting adalah Kipas Hitam.

“Kipas Hitam dibentuk untuk mempersiapkan orang-orang Indonesia melakukan perang kemerdekaan di bawah bimbingan Jepang,” tulis Joyce C. Lebra dalam Tentara Gemblengan Jepang.

Menurut Aiko Kurasawa dalam Mobilisasi dan Kontrol, Shimizu adalah seorang propagandis profesional yang memulai kariernya di China pada 1930-an. Dia kembali ke Jepang pada 1940 dan bergabung dengan Persatuan Pembantu Pemerintahan Kekaisaran (Taisei Yokusankai), organisasi massa bentukan pemerintah Jepang, yang kemudian menjadi model bagi Jawa Hokokai. Dia juga bergabung dengan Toa Remmei (Federasi Asia Timur).

Shimizu, sebagai dikutip Lebra, ingat, “Saya berafiliasi dengan Toa Remmei di masa lalu, dan saya punya gagasan untuk mengembangkannya di Indonesia sebuah gerakan spiritual populer yang mencerahkan, yang bisa disebut sebagai gerakan Asia.”

Shimizu sempat berhenti dan bekerja di Biro Penerangan Kabinet (Naikaku Johokyoku), hingga ditarik oleh Angkatan Darat ke-16 sebagai atase sipil yang bertugas militer dan bertanggungjawab atas propaganda di Indonesia. Di sinilah ide-idenya direalisasikan, dengan membentuk organisasi-organisasi massa yang akan dimobilisasi untuk memberi dukungan politik bagi kepentingan perang Jepang.

Shimizu dekat dengan orang-orang Indonesia, dari kalangan pemuda maupun tokoh nasional seperti Sukarno-Hatta. Dia memberikan rumah di Pegangsaan Timur 56 dan mobil limusin Buick –kelak menjadi mobil kepresidenan– untuk Sukarno. Menjelang proklamasi, dia membantu mencarikan kain merah putih untuk bahan Fatmawati membuat bendera.

Dia berperan dalam pembentukan organisasi massa yang menggerakkan dukungan politik bagi Jepang: Gerakan Tiga-A (Jepang Cahaya Asia, Jepang Pelindung Asia, Jepang Pemimpin Asia), Pusat Tenaga Rakyat, Jawa Hokokai (Himpunan Kebaktian Rakyat), dan Shuisintai (Barisan Pelopor).

Dia juga mendirikan Asrama Angkatan Muda di Menteng 31, yang menyediakan tempat bagi para pemuda untuk mendapatkan pendidikan politik. Pembentukan sejumlah perkumpulan rahasia menjadi salah satu upaya terakhirnya di tengah kekalahan perang Jepang.

Kipas Hitam bukanlah khas Indonesia. Menurut R-H. Barnes dalam Fransiskus/Usman Buang Duran: Catholic, Muslim, Comunist, Kipas Hitam bersama Banteng Hitam dan Naga Hitam merupakan bagian dari Perkumpulan Naga Hitam (Kokuryukai).
Perkumpulan Naga Hitam merupakan kelompok ultranasionalis paramiliter Jepang yang dibentuk pada 1901 oleh Ryohei Uchida. Perkumpulan ini menerbitkan jurnal dan menggelar sekolah pelatihan spionase, yang dikirim untuk mengumpulkan informasi dari Rusia, Manchuria, Korea, dan China. Selain itu, organisasi ini menekan para politisi Jepang agar mengadopsi kebijakan luar negeri yang kuat. Kokuryukai mendukung Pan-Asianisme.

“Para anggota Perkumpulan Naga Hitam melakukan aksi bersenjata, provokasi dan pembunuhan guna kepentingan rezim kekaisaran. Terutama saat penaklukan Manchuria (China), mereka melakukan pembunuhan dan propaganda yang aktif dan efektif,” tulis Peter Schumacher dalam Een Bende op Java.

Di Indonesia, suratkabar Persatoean mengindikasikan bahwa dana pembentukan Kipas Hitam berasal dari “fonds kemerdekaan” yang dikumpulkan Jepang selama pendudukan. Fonds ini dimaksudkan untuk kegiatan pemuda, pendidikan, dan bantuan bagi rakyat miskin. “Yang harus bertanggung jawab atas sebagian besar propaganda ini ialah Hitoshi Shimizu,” tulis Persatoean, 9 Mei 1946.

Tapi Shimizu tak bisa mengawal perkumpulan rahasianya. Dia keburu ditangkap Sekutu pada akhir 1945. Dia diinterogasi di Jakarta dan mengaku bertanggung jawab atas propaganda supaya penduduk membeci segala bangsa berkulit putih, terutama Belanda, “dan menyusun gerakan rahasia yang akan mampu bekerja atas kemauan sendiri, bila Jepang terpaksa menyerah sendiri, dia mendirikan Kipas Hitam,” tulis Soeloeh Ra’jat, 23 Agustus 1946.

Tanpa Shimizu, Kipas Hitam terus berjalan. Keberadaannya bahkan menarik perhatian banyak pemuda, dan juga Sutan Sjahrir. Dalam pamfletnya Perdjoengan Kita, Sjahrir menulis betapa perkumpulan rahasia Jepang, termasuk Kipas Hitam, mulai memberi pengaruh pada para pemuda. “Meskipun secara lahir para pemuda membenci Jepang, namun jiwa mereka telah terpengaruh oleh propaganda Jepang, sehingga tingkah laku dan cara berpikir mereka mencontoh Jepang. Ini terlihat dari kebencian mereka terhadap bangsa-bangsa asing, terutama Sekutu dan Belanda,” tulis Sjahrir.

Alih-alih melawan Sekutu, Kipas Hitam malah membuat kekacauan di sejumlah tempat. Di Bondowoso, misalnya, ditemukan selebaran dan pamflet, mengatasnamakan Kipas Hitam dan Pedang Samurai, yang berisi ancaman kepada polisi setempat. “Pedang Samurai yang selama perang hanya membuktikan kekejaman terhadap penduduk dan Kipas Hitam yang hanya mengacau dan merusak harus lenyap dari Indonesia,” tulis Pelita Rakjat, 2 Juli 1948.

Anggota Kipas Hitam pun harus berhadapan dengan para pemuda republiken. Soeara Rakjat, 1 Oktober 1945, memberitakan pemuda republiken menangkap 20 anggota Kipas Hitam di stasiun kereta api dan menyita sejumlah senjata. Penangkapan dilakukan oleh para pemuda kereta api, Barisan Pelopor, polisi, dan lain-lain. Pemuda kereta api juga menangkap empat anggota lainnya di sebuah terowongan kereta api dan menyita uang sebesar f.50.000.

Di Surabaya, dilakukan razia, terlebih tersiar kabar anggota Kipas Hitam membantu gerakan Dood alle Inlanders (bunuh semua bangsa Indonesia). Menurut Sutomo, para pemuda dan anak kampung sering memberhentikan mobil pembesar Jepang. Setelah berhenti, mereka memaksa penumpang turun, dan menginterogasi apakah kenal gerakan Kipas Hitam atau tidak. Jika tak kenal, mereka boleh melanjutkan perjalanan tapi dengan berjalan kaki. Mobil disita. “Alasan mencari kaki tangan Kipas Hitam terus digunakan oleh rakyat dan pemuda dalam usaha menambah jumlah kendaraan untuk Republik Indonesia,” kata Sutomo dalam Pertempuran 10 November 1945: Kesaksian dan Pengalaman Seorang Aktor Sejarah.

Gerakan Kipas Hitam perlahan memudar.

Di kemudian hari, Shimizu tetap menjalin kontak dengan Indonesia. Dia membentuk Asosiasi Kebudayaan Jepang-Indonesia dan, setelah tahun 1964, berusaha menghubungkan perkumpulan kebudayaannya dengan Lembaga Persahabatan Indonesia-Jepang, yang diketuai Ratna Sari Dewi sejak Mei 1964. Dia kembali mengadakan pertemuan dengan sejumlah tokoh yang pernah dia kenal di zaman Jepang pada 1977, termasuk menemui Fatmawati.

Selasa, 22 April 2014

Sturmgewehr 44 : Senapan Serbu Jerman PD II Yang Melegenda








Type: Semi or Fully Automatic Assault Rifle
Country of Origin: Germany
Caliber: 7.92 x 33 mm
Cartridge Capacity: 30 rounds
Muzzle Velocity: Approximately 2,133 feet per second
Rate of Fire: 500 rounds per minute.


Maschinenpistole 43, Maschinenpistole 44 atau Sturmgewehr 44 (MP43, MP44 dan StG44) adalah senapan otomatis selective-fire yang dikembangkan oleh Jerman pada Perang Dunia II, dalam program Maschinenkarabiner (karabin mesin) mereka. Senapan ini dianggap sebagai senapan serbu pertama di dunia.

MP43, MP44 dan StG 44 adalah senapan yang hampir serupa, dengan sedikit perbedaan pada produksi dan waktu pembuatan. Ketiganya dikembangkan dari Mkb 42(H). Perbedaan nama ini karena rumitnya penamaan senjata pada era Nazi Jerman. 'StG' adalah singkatan dari sturmgewehr (senapan serbu, assault rifle), yang menggabungkan sifat-sifat karabin, submachine gun, dan senapan otomatis. Setelah dipakainya StG 44, istilah ini menjadi lumrah untuk mendeskripsikan tipe senjata semacam ini.
Senapan ini memakai peluru 7,92 x 33 mm, yang juga dikenal dengan nama 7,92 mm Kurz (kurz berarti 'pendek'). Peluru ini adalah modifikasi dari peluru standar 7,92 × 57 mm Mauser. Melalui kombinasi dengan kemampuan selective-fire, senjata ini menghasilkan semburan setingkat submachine gun, dengan akurasi dan daya setingkat senapan Karabiner 98k pada jarak dekat. Walau begitu, StG 44 memiliki jangkauan dan daya yang lebih rendah daripada senapan-senapan pada era itu. Karakter ini mengikuti hasil studi yang dipakai oleh Wehrmacht pada saat itu, yaitu bahwa hampir semua pertempuran terjadi pada jarak kurang dari 300 meter dan mayoritas kurang dari 200 meter. Senapan lain dianggap terlalu besar kekuatannya. StG 44 berhasil membuktikan keunggulannya pada Front Timur sewaktu ia banyak dipakai dan dianggap lebih baik daripada senapan lain pada saat itu.




Sejarah
Sebelum memakai nama MP44 atau StG 44,dia menyandang nama Maschinenkarabiner 43. Senapan tersebut pada awalnya tidak diresmikan oleh Hitler sebelum menunjukan aksinya di Front Timur. Setelah menunjukan kehebatanya, Maschinenkarabiner 43 pun akhirnya diresmikan oleh Hitler pada tahun 1943 dan mengganti namanya menjadi MP43 dan kelak MP44 atau StG 44. Sebenarnya pemakaian MP44 terbilang "sembunyi-sembunyi". Hal tersebut dikarenakan jika saja Hitler tidak senang dengan senjata tersebut. Angkatan bersenjata Nazi yang menerima senjata tersebut pertama kali adalah SS (Schutzstaffel). Senjata ini pun juga menjadi favorit SAS Inggris dan "Light Support Weapon" bagi SAS apabila persediaan peluru Sten atau Bren mereka habis.



Jerman sudah lama tidak berperang dengan Rusia ketika menjadi jelas bahwa pasukan infantri Jerman bersenjatakan “bolt action Mausers” tidak mendapat posisi baik dalam pertempuran melawan senjata otomatis Rusia. Sebagai jawabannya, para pengembang senjata Jerman datang dengan senjata baru yang revolusioner, yang disebut “senapan serbu/assault rifle (terjemahan langsung dari kata Sturmgewehr). kunci kesuksesan senjata ini terletak pada peluru 7.92 mm yang memungkinkan tembakan otomatis dan efektif. Para tentara juga bisa membawa lebih banyak amunisi. StG44 ini merupakan inovasi baru pada jamannya.
Maschinenpistole 43, Maschinenpistole 44 atau Sturmgewehr 44 (MP43, MP44 dan StG44) adalah senapan otomatis selective-fireyang dikembangkan oleh Jerman pada Perang Dunia II, dalam program Maschinenkarabiner (karabin mesin) mereka. Senapan ini dianggap sebagai senapan serbu pertama di dunia.



Senapan ini memakai peluru 7,92 x 33 mm, yang juga dikenal dengan nama 7,92 mm Kurz (kurz berarti ‘pendek’). Peluru ini adalah modifikasi dari peluru standar 7,92 × 57 mm Mauser. Melalui kombinasi dengan kemampuan selective-fire, senjata ini menghasilkan semburan setingkat submachine gun, dengan akurasi dan daya setingkat senapan Karabiner 98k pada jarak dekat. Walau begitu, StG 44 memiliki jangkauan dan daya yang lebih rendah daripada senapan-senapan pada era itu. Karakter ini mengikuti hasil studi yang dipakai oleh Wehrmacht pada saat itu, yaitu bahwa hampir semua pertempuran terjadi pada jarak kurang dari 300 meter dan mayoritas kurang dari 200 meter. Senapan lain dianggap terlalu besar kekuatannya. StG 44 berhasil membuktikan keunggulannya pada Front Timur sewaktu ia banyak dipakai dan dianggap lebih baik daripada senapan lain pada saat itu.



Sebelum memakai nama MP44 atau StG 44,dia menyandang nama Maschinenkarabiner 43. Senapan tersebut pada awalnya tidak diresmikan oleh Hitler sebelum menunjukan aksinya di Front Timur. Setelah menunjukan kehebatanya, Maschinenkarabiner 43 pun akhirnya diresmikan oleh Hitler pada tahun 1943 dan mengganti namanya menjadi MP43 dan kelak MP44 atau StG 44. Sebenarnya pemakaian MP44 terbilang “sembunyi-sembunyi”. Hal tersebut dikarenakan jika saja Hitler tidak senang dengan senjata tersebut. Angkatan bersenjata Nazi yang menerima senjata tersebut pertama kali adalah SS (Schutzstaffel). Senjata ini pun juga menjadi favorit SAS Inggris dan “Light Support Weapon” bagi SAS apabila persediaan peluru Sten atau Bren mereka habis.